Kalimat tasbih seperti biasa mengiringi setiap langkah kaki Hamidah
kemana pun. Nafasnya menjadi dzikir yang tiada hentinya. Matanya
selalu mengecil setiap kali melihat tanda-tanda kebesaran Allah di
mana pun karena terhimpit oleh senyum kecilnya yang penuh makna. Ia
tak sendiri, burung-burung kecil pun ikut bertasbih saat Hamidah
melewatinya, seakan menyambutNya di pagi hari.
Sebuah
tas ransel menggantung di punggungnya, selalu menemani setiap hari
kemana pun, tanpa mengeluh walau cuaca panas bukan main, walau tajamnya
air hujan menusuk, dan hanya terguncang pelan karena langkah kaki
Hamidah yang tumaninah.
Kelas masih sepi ketika ia
memasukinya. Ia berhenti tepat di samping tempat duduknya. Memandangi
sosok perempuan mungil di hadapannya. Gadis itu mengenakan kerudung
segi empat yang bagian pinggirnya di biarkan menggantung begitu saja.
Tubuh gadis itu berguncang. Di balik kerudung putihnya tampak merah
hidungnya.“kau menangis lagi?” gumam Hamidah. Mampu membuat gadis di
hadapannya menoleh padanya.
Tatapan kadis itu begitu
rapuh. Matanya sudah sangat merah. Bagian pinggirnya bengkak. Dengan
sedikit terisak ia membuka mulutnya, ingin berbicara, namun tak ada
yang keluar. Kemudian ia menutup bibirnya rapat-rapat. Kembali
menangis.
Seraya duduk, Hamidah tersenyum. Meraih tangan
gadis di sebelahnya dan mencengkeramnya erat-erat. “dia lagi? Aku
sudah bilang padamu, lupakan dia, jangan lagi berharap. Kau tahu kan
dia sudah tak peduli lagi padamu, dari pada kau sakit hati terus
menerus, sudah, hentikan harapanmu, jangan lagi mencari tahu tentang
dia, jangan lagi…”
“kau tak mengerti! Sampai kapan pun
kau takkan mengerti!” Syifa memukul mejanya. Mampu membuat jantung
Hamidah berdetak begitu keras dan terasa sakit, tapi kemudian, ia bisa
menetralisir rasa terkejutnya. Keadaan menghening. Hanya terdengar
suara angin lembut berhembus. Syifa tergugup, merasa bersalah karena
sudah membentak sahabatnya yang hanya mencoba untuk menenangkannya,
yang hanya mencoba untuk mengisi kekosongan dalam dirinya. “maafkan,
aku… aku…”
“tak apa. kau benar, aku memang tidak
mengerti, tapi kau boleh meminjam bahuku, menangislah sepuasnya.
Keluarkan air matamu hingga kering.”mereka berdua saling pandang.
Kasih sayang menyelimuti mereka berdua. Hangat dan penuh makna.
“kemarilah,” Hamidah merangkul Syifa dan merebahkan kepalanya ke
dadanya.
Jemari Syifa memainkan lengan Hamidah. “entah
apa yang terjadi dengan dia, dia seakan belum pernah berhubungan
denganku,” suara Syifa sangan parau. Hamidah hanya diam, menunggu
kalimat selanjutnya yang akan Syifa keluarkan. “bahkan sekarang ia
sudah punya pujaan baru.”
“kau bilang kau akan berubah? Kau bilang kau tak peduli? Kau bilang kau bisa tanpa dia?”
Syifa agak terhenyak. “aku cemburu. Rasanya aku ingin memiliki lelaki lain.”
“jangan. Jangan kau lakukan itu.”
“kenapa?”
Hamidah
menarik nafasnya yang panjang dan lembut. “kau ingat yang kubilang
kemarin? Mungkin itu balasan karena kau telah membangkang padaNya. Kau
jatuh dalam permainan mereka. Permainan yang ingin membuatmu untuk
terus bersedih…”
“apa aku salah?”
“entahlah,
aku tak bisa bilang kau salah, aku hanya ingin mengingatkan, patuhi
apa Dia perintahkan. Jangan lagi pacaran. Jangan lagi merasa untuk
punya lelaki lagi sekarang. Ingat, otakmu bukan untuk memikirkan
mereka para lelaki, tapi kau harus memusatkannya pada dirimu. Menjaga
dirimu dari segala yang bisa membuatmu sedih. Dan terfokus pada tugas
kita nanti bulan April.”Syifa menarik dirinya dan menatap Hamidah
lekat-lekat, penuh makna.
“aku bukan dirimu.” katanya,
lirih. “aku tak bisa seperti dirimu. melupakan semuanya begitu saja.
Aku bukan dirimu, bukan dirimu.”
Hamidah tersenyum
dengan tenang. “aku memang tak mengerti, tapi asal kau tahu, kau
selalu ada dalam doaku. Hanya itu yang bisa aku lakukan.”
Syifa
berpaling dari Hamidah. Matanya tertuju pada langit cerah di balik
jendelanya. Kemudian ia tertawa kecil. “bodoh!” dan tawanya semakin
keras. “bodoh! Mengapa kau mendoakanku? Pentingkah aku untuk kau
doakan?”
Hamidah mengernyit. “tentu saja penting! Kau
sahabatku!”Kemudian keadaan menghening. Sampai detik itu, belum ada
seorang pun yang datang kecuali mereka di kelas itu. Dan tiba-tiba,
Syifa jatuh di pangkuan Hamidah.“astaghfirullah! Syifa! Bangun!”
***
“Hamidah!”Seseorang berlari dan menahan tangan Hamidah.
“apa?”
“Syifa kenapa?”
“dia
hanya sedang tidak enak badan. Mungkin karena dipaksakan untuk ke
sekolah, akhirnya ia pingsan.” Jawab Hamidah, penuh ketenangan. “memang
kenapa?”
Mira menggeleng. “ah, tidak, aku hanya kasihan
saja melihatnya. O ya, kenapa mata Syifa selalu merah begitu seperti
habis nangis?”
“entahlah, mungkin kurang tidur. Ehm, maaf, aku ada urusan. Permisi.”Mira hanya mengangguk dan membiarkan temannya itu berlalu.
Jadi
hari itu, ia sendiri lagi. Akhir-akhir ini, selalu seperti itu.
Setiap pagi Hamidah melihatnya menangis, tapi setiap itu pula ia harus
sendiri lagi karena kondisi Syifa yang tidak memungkinkan untuk
bertahan di sekolah.
Bibirnya selalu basah karena dzikir
seperti biasanya. Berharap sahabatnya tidak apa-apa. Karena hanya
sahabatnya itulah teman hidup Hamidah. Hari-harinya yang tinggal
dipanti asuhan harus selalu dijadikan pengalaman untuk besar kelak
karena lebih mandiri.
Apalagi siang harinya ia harus
bekerja di sebuah toko roti. Namun hebatnya, ia tak pernah mengeluh.
Ia malah bersyukur, karena takdirnya membuat ia lebih menerima
kehidupan yang kejam.
***
“kak, pakai parfum, yah?” celetuk salah satu adik asuhnya di panti asuhan.
Hamidah yang sedang membuat teh manis untuk menu berbuka puasanya tersenyum geli. “parfum apa? Enggak, kok.”
“tapi
kok wangi banget, ya deket-deket sama kakak?” Silvi, gadis kecil itu,
mengangkat kepalanya untuk melihat teh manis yang menggoda dirinya.
“ah, masa? Nggak kok, Dek. Kakak gak pakai parfum. Pakai parfum kan haram ,Dek. Wangi teh kali yang Adek cium,”
Silvi tidak memerhatikan kata-kata Hamidah barusan. Matanya terfokus pada teh manis yang ada di hadapannya.
“Silvi mau? Sini kakak bikinin.”Gadis kecil itu tersenyum malu karena ketahuan sedang memerhatikan teh milik Hamidah.
“makasih,
kak.”Hamidah hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu mengambil semua
bahan-bahan tehnya. Hanya beberapa menit, teh pun siap disajikan. Tapi
Silvi hanya diam ketika Hamidah menaruh cangkir tehnya di depannya.
Tentu saja Hamidah keheranan, “kenapa gak diminum?”
“bareng
sama kakak aja deh, kan sebentar lagi juga maghrib tiba.”Hamidah
tertawa kecil dan mengusap-ngusap kepala Silvi yang dibalut dengan
kerudung oranyenya yang lucu.
“adik kakak pinter banget sih!”
“siapa dulu kakaknya? Ya gak?” alis gadis kecil itu naik turun dengan cepat, mampu membuat Hamidah tertawa lagi.
***
Kalimat
tasbih seperti biasa mengiringi setiap langkah kaki Hamidah kemana
pun. Nafasnya menjadi dzikir yang tiada hentinya. Matanya selalu
mengecil setiap kali melihat tanda-tanda kebesaran Allah di mana pun
karena terhimpit oleh senyum kecilnya yang penuh makna. Ia tak sendiri,
burung-burung kecil pun ikut bertasbih saat Hamidah melewatinya,
seakan menyambutNya di pagi hari.
Ia berharap hari tak ada lagi kesedihan. Tak ada lagi air mata. Dan hanya senyuman yang menghiasi harinya kali ini.
Seperti
biasa, ia selalu menjadi yang kedua hadir di sekolah. Syifa sudah
duduk di bangkunya seperti biasa. Tapi kali ini ia tak menangis. Ia
sedang bermain dengan pulpennya di atas sebuah kertas.“assalamu
‘alaikum.”
Syifa memandang hangat sahabatnya. “wa ‘alaikum salam. Aku hebat, kan?”
Hamidah
mengernyit, tak mengerti dengan apa yang Syifa katakan. Tapi kemudian
Syifa menyentuh matanya yang tak basah. Dan saat itu pula, Hamidah
mengangguk dan mengerti.
“aku senang kau tak menangis lagi.”
“tentu
saja kau harus senang!”Lalu keduanya larut dalam tawa. Lupa dengan
kesedihannya. Hamidah senang. Doanya terkabul. Tak ada air mata pagi
itu.
***
Syifa menggigit roti bungkusnya
dengan lahap. Ia tak menyadari kalau Hamidah tersenyum melihat tingkah
lakunya itu. “kau lapar, ya?”
Syifa terhenyak, lalu
tersipu malu. “maklum, tenagaku sudah habis karena air mata.”Dan
keadaan menghening hingga Syifa menghabiskan roti bungkusnya. Lalu ia
meraih aqua gelasnya dan meminumnya dengan pelan. Saat itu, mereka
sedang duduk di bawah langit yang mendung. Matahari tak menyinari
mereka seperti biasanya.
“aku tak mengerti,” gumam Syifa.
“aku sudah tahajjud, tapi kenapa rasa sedihku selalu datang. Aku
sudah berdoa, tapi kenapa Allah tak juga mengabulkan doaku untuk
menyadarkan dia.” Suara Syifa mulai bergetar.
Hamidah tersenyum dan mengusap bahu sahabatnya itu. “apa niatmu ketika tahajjud?”Syifa menoleh pada Hamidah.
“maksudnya?”
“apa yang membuatmu melakukan tahajjud?”
“agar Allah mengabulkan doaku agar aku bisa tenang dan tidak sedih lagi. Agar aku bisa lupa padanya.”
Hamidah mengangguk pelan. Hal itu membuat Syifa tak mengerti.
“memangnya kenapa?”
“ubah niatmu.”
“apa?”
“ubah
niatmu. Ubah niatmu untuk melaksanakan tahajjud karena ingin berduaan
dengan Allah. Ubah niatmu melakukan tahajjud untuk menghabiskan waktu
bersama Allah. Bukan karena yang lain. Insya Allah, semua lebih baik
dari apa yang kau harapkan. Karena dengan niatmu untuk merasakan
berdua dengan Allah, tahajjudmu akan lebih terasa nikmat. dan jangan
menunggu doamu untuk dikabulkan. Jangan tergesa-gesa. Mungkin Allah
ingin kau selalu berdoa padaNya agar kau selalu ingat Dia.”
Syifa hanya diam.
“lakukan
semuanya semata-mata karena Allah, agar kau mendapatkan nikmat lebih
dari apa yang kau harapkan. Rasa sedihmu, sakitmu, semua itu akan
terganti dengan yang lebih nikmat karenaNya.”
“apa aku tak boleh melakukannya untuk menghilangkan sedihku?” Tanya Syifa, matanya menusuk mata Hamidah.
“tentu
saja boleh. Hanya saja, jika kau melakukannya karena Allah, kau akan
merasakan lebih dari yang selama ini kau lakukan. Aku jamin!”
***
Kalimat
tasbih seperti biasa mengiringi setiap langkah kaki Hamidah kemana
pun. Nafasnya menjadi dzikir yang tiada hentinya. Matanya selalu
mengecil setiap kali melihat tanda-tanda kebesaran Allah di mana pun
karena terhimpit oleh senyum kecilnya yang penuh makna. Ia tak sendiri,
burung-burung kecil pun ikut bertasbih saat Hamidah melewatinya,
seakan menyambutNya di pagi hari.
Tapi kali ini semua
berbeda. Hamidah terkejut mendapati Syifa tak ada di kursinya kali
ini. Kemana dia? Hatinya penuh pertanyaan tak menentu. Mulai merasakan
ketidak enakkan. Tapi kemudian ia menggeleng keras dan mengusir
segala yang terbayang pada benaknya. “jangan su ‘udzon!” batinnya.
Bel berbunyi. Tapi Syifa tak kunjung datang. Hamidah mulai cemas.
“kau tahu Syifa kemana?”
Mira berdiri di hadapan Hamidah dengan raut wajah yang tidak menggambarkan kalau Syifa baik-baik saja.
“kemana? Mengapa dia tidak datang hari ini?”
Mira menelan ludah berat. “ia masuk rumah sakit!”
“apa?”
Hamidah terperangah. “dia kenapa?”
“aku juga tak tahu. Ibunya hanya memberitahuku kalau ia masuk rumah sakit.”
Kenapa?
***
Syifa
membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Kepalanya masih terasa
pusing. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah ia masih hidup atau
tidak.“Alhamdulillah, Syifa? Kau sudah sadar?”
Syifa
mengenal suara itu. Tapi ia lupa suara siapa. Matanya melirik ke
sampingnya. Duduk seorang gadis dengan balutan kerudung dan jilbab
oranye menatapnya dengan penuh kecemasan. Ia mulai tahu siapa itu.
“Hamidah?”
“kenapa dengan kamu? Kenapa kau tak bilang
padaku kalau kau butuh donor ginjal karena ginjal kananmu rusak? Apa
kau tak menganggap aku sebagai sahabatmu?”
Syifa hanya
diam. Pikirannya melayang pada lelaki pujaannya. Hatinya
bertanya-tanya kenapa lelaki pujaannya itu tidak datang menjenguknya.
“Syifa? Kau dengar aku, kan?”
Syifa
tetap diam. Tapi kini ia lupa dengan segalanya yang tadi ia ingat.
Tangannya terangkat. Menerawang udara kosong yang terbang di atasnya.
Bibirnya tersenyum.
“Syifa!” hamidah cemas. Tapi Syifa
tak merespon pekikkan Hamidah. ia tak mendengar apapun. Ia hanya
terfokus pada sebuah bayangan yang seakan-akan mengajaknya. Tapi
kemudian tangannya turun dengan tiba-tiba. Mata Syifa terpejam begitu
saja.
“Syifa!”
***
Jari tangannya bergerak. Perlahan ia membuka matanya. Dimana aku? Apa aku masih hidup?
Beberapa
saat kemudian datang seorang ibu paruh baya dan berdiri di
sampingnya. “sayang, kamu udah sadar? Apa yang kamu rasa, sayang?”
“ibu? Aku masih hidup, ya? Raihan mana, bu? Kok dia ngga nengok aku? Apa dia udah ga peduli sama aku, bu?” Syifa merengek.
Ibunya
hanya diam dan mengelus kening Syifa, menyesal tak bisa menghadirkan
Raihan di sisi putrinya.“bu, tinggalkan aku sendiri. Aku tak ingin
menemui siapa pun kecuali Raihan.”
Syifa menatap kosong
apa yang ada di hadapannya. Masih tak bisa menerima kenyataan kalau
lelaki pujaannya sudah tidak peduli lagi padanya. Bahkan di saat ia
sakit sekali pun.Syifa mulai menangis. Ia mencari handphonenya.
Matanya mendapati handphonenya ada di meja yang terletak satu meter
dari ranjangnya. Ia berusaha bangun. Namun tertahan ketika rasa sakit
yang berpusat di pinggang kanannya menyebar ke seluruh tubuhnya.
“auw!”
Tangannya
menyibakkan baju yang menutupi pinggang kanannya. Ada luka jahit di
sana. Tapi Syifa tak menghiraukan hal itu. Ia berjalan dengan pincang
dan meraih handphonenya. Lalu mengetik sebuah pesan sayang pada lelaki
yang dicintainya. Matanya terpejam. Menunggu sebuah balasan. Namun
satu jam berlalu, tak ada balasan apa pun.Tapi kemudian ia ingat
sesuatu. Hamidah. ia baru sadar kalau Hamidah tak ada di sampingnya. Ia
menggerutu dengan kesal, “dasar tak tahu diri! Aku sakit, tapi tak
datang!”
***
Hari ini Hamidah tersenyum. Syifa sudah kembali lebih dulu tiba di sekolah. Dan hari itu terulang lagi.
“kau menangis lagi?”
Syifa menoleh pada Hamidah. tapi kali ini tatapannya penuh kebencian. “kau kemana saja selama aku sakit?”
Dengan hati-hati Hamidah duduk di kursinya. “mendoakanmu.”
“bohong! Kau tak hadir di setiap sadarku kemarin. Kau menghilang entah kemana. Apa kau bosan bersahabat denganku?”
“apa maksudmu?”
Syifa mendengus. “mungkin kau lebih bahagia jika aku mati!”
Hamidah terhenyak. “Syifa, apa yang kau bicara, kan? Aku tak mengerti!”
“sudahlah, lupakan! Kau sama saja dengan Raihan! Tak peduli padaku ketika aku sakit! Aku tak ingin lagi bicara denganmu!”
***
Hamidah
mengambil air wudlu dengan tenang. Hatinya masih sibuk beristighfar
pada Allah. Masih tak mengerti apa yang Syifa maksud.
Di
musola sekolah, ia bermunajah pada Allah dalam Dhuha. Hatinya ikhlas
dan penuh keteguhan. Sangat rindu Rabbnya yang Maha Kokoh sebagai
tempat bersimpuh.
Dengan tumaninah ia mulai bertakbirotul ihram dan kehusyu ‘an pun mulai menyerbu dalam hatinya.
***
“dimana Hamidah?” Ibu Nida bertanya pada Syifa ketika jam pelajaran di mulai kembali setelah jeda istirahat.
“di musola, bu.”
“masih di musola? Ini sudah setengah jam dari istirahat, dia belum kembali?”
“kabur kali, bu.” Ujar Syifa, acuh tak acuh.
“ketua
kelas, cek Hamidah di musola!”Hapid, ketua kelas, bergegas keluar.
Selang beberapa detik, ia kembali dengan wajah ketakutan.
“bu, Hamidah!”
“ada apa?”
“ia tak sadarkan diri, bu!”
Dengan
seketika, semua murid di kelas itu bergegas ke musola, begitu juga
Syifa. Walau pun ia sedang marah padanya, namun rasa cemas juga
menghampiri dirinya.
Hamidah tergeletak di atas sajadahnya. Wajahnya pucat dan bibirnya biru. Mukena putihnya masih dipakainya.
Bu
Nida segera mengecek keadaan Hamidah. Ia mengangkat kepala Hamidah ke
pangkuannya. Ketika itu, Syifa sempat melihat bekas jahitan di
pinggang Hamidah karena bajunya tersingkap. Mengecek denyut nadinya.
Hembusan nafasnya. Dan, “innalillaahi wa inna ilaihi roji ‘un.”
***
Kalimat
tasbih seperti biasa mengiringi setiap langkah kaki Hamidah kemana
pun. Nafasnya menjadi dzikir yang tiada hentinya. Matanya selalu
mengecil setiap kali melihat tanda-tanda kebesaran Allah di mana pun
karena terhimpit oleh senyum kecilnya yang penuh makna. Ia tak sendiri,
burung-burung kecil pun ikut bertasbih saat Hamidah melewatinya,
seakan menyambutNya di pagi hari.
Tapi mulai detik ini, ia sudah tertidur nyenyak di tempat yang nyaman. Jauh dari ancaman dan penuh kenikmatan.
Di
sampingnya, Syifa masih menangis. Mengusap-ngusap kuburan sahabatnya.
Mengenang saat-saa ia dipeluk oleh Hamidah. ia teringat kata-kata
sahabatnya bahwa semua akan baik-baik saja kalau kita takut padaNya.
Semua akan baik-baik saja selama kita tak mencoba hal belum boleh kita
lakukan. Dan lebih menyesalnya lagi, ia tak tahu kalau sahabatnyalah
penyelamat jiwanya. Tapi ia juga bahagia, karena kini Hamidah berada
dalam dirinya. Walau pun hanya sebagian kecil, tapi itu sangat berarti.
"Kau
ini! Andai kau masih ada, aku ingin cubit dirimu karena sudah nolong
aku. Makasih banyak! Aku tak tahu kata apa yang pantas untuk
berterimakasih padamu. Kau bagian dariku sekarang." Syifa menangis
menyesal.
“kakak, sahabatnya kak Hamidah, ya?”
Syifa menoleh pada suara mungil di sampingnya.
“aku Silvi, adik kak Hamidah.”
“oh, sini, Dek.” Syifa merangkul perempuan kecil itu.
“kakak tahu satu hal tidak? 40 hari yang lalu, kak Hamidah wangi… sekali. Silvi ingin wangi seperti itu."
Syifa tersenyum. "Dek, tahu ngga? Itu adalah wanginya orang baik."
TAMAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar